Potretterkini,id, KENDARI-Polemik sengketa lahan tapak kuda seluas 25 hektare di Kota Kendari terus bergulir dan memicu kekhawatiran publik munculnya potensi konflik horizontal.
Koperasi Perikanan/Perempangan Soananto (Kopperson) terus menguatkan gugatan dan mengancam melakukan eksekusi mulai dari bangunan rumah mukim, Rumah Sakit Aliyah, Hotel Zahra, Gudang Avian, hingga PT Askon di lahan sengketa tersebut.
Dasar gugatan ini adalah surat permintaan peletakan patok batas atas Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) No. 1 Tahun 1981 yang diklaim milik Kopperson berdasarkan putusan perkara perdata Nomor 48/Pdt.G/1993/PN Kdi.
Konstatering yang akan di jadwalkan ulang oleh PN kendari sah secara hukum tindakan ini dilakukan sebelum pelaksanaan eksekusi riil untuk mencegah kesalahan dan memastikan objek yang dieksekusi sesuai dengan putusan, pencocokan dan pencatatan resmi objek sengketa di lapangan untuk memastikan kesesuaian antara objek yang akan dieksekusi dengan amar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Menurut “Zainuddin Ambo” sebagai pengacara dan praktisi Hukum, PN Kendari sebelum melaksanakan konstatering sebaiknya mengedepankan asas kemanfaatan Hukum dan asas keadilan Hukum dimana dalam sengketa tersebut terdapat rumah sakit sebagai obyek vital yang harus dilindungi, ini dikarenakan rumah sakit memiliki peran sentral dalam menjaga kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak.
“Olehnya itu gangguan pada fasilitas kesehatan dapat menghambat layanan vital dan berdampak pada keselamatan publik,” katanya.
“Ia menambahkan” status hukum HGU yang diklaim Kopperson dilaporkan telah berakhir sejak 30 juni tahun 1999 dan belum diperpanjang secara resmi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Permen ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Tanah Elektronik menyatakan bahwa semua data, informasi, dan/atau dokumen elektronik disimpan pada Pangkalan Data Sistem Elektronik.
Dengan demikian HGU akan gugur secara otomatis ketika masa berlakunya berakhir tanpa perpanjangan dan dikembalikan kepada negara.
Menurut pakar hukum M. Yahya Harahap bahwa putusan pengadilan bisa dinyatakan Non executable dimana dalam suatu putusan tidak dapat dilaksanakan atau dijalankan, sering kali karena tidak ada objek eksekusi yang jelas, harta yang akan dieksekusi tidak ada, atau putusan bersifat deklaratoir hanya menyatakan suatu keadaan, akibatnya eksekusi harus dihentikan.
Dasar Hukumnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung beserta perubahannya : UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009 : Meskipun tidak secara langsung membahas non-executable, undang-undang ini mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dan proses eksekusi secara umum.
HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten): Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg mengatur tentang eksekusi putusan pengadilan, termasuk berbagai alasan mengapa eksekusi tidak bisa dilaksanakan.
Penjadwalan ulang konstatering oleh PN Kendari menimbulkan reaksi pro dan kontra terutama terhadap yang bersengketa. Menurut hemat saya PN Kendari Semestinya mengedepankan Asas hukum “salus populi suprema lex esto”, bahwa keselamatan rakyat di atas segalanya agar menghindari konflik horizontal Tegas “Zainuddin Ambo sapaan akrab Cai”. (Red)







Komentar