Potretterkini.id, KENDARI- Dua puluh lima tahun sudah bangsa Indonesia menapaki jalan panjang Reformasi. Sebuah gerakan yang lahir dari rahim perlawanan rakyat, mahasiswa, dan kaum reformis pada 1998 itu semula menyalakan bara harapan menghadirkan negeri yang demokratis, adil, dan bersih dari korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN). Namun, seperempat abad kemudian, cita-cita besar itu masih terus diuji oleh kenyataan yang kerap paradoks. Cita-cita besar untuk membangun negara yang demokratis, adil, dan bersih dari korupsi masih jauh dari sempurna.
Ketua Asosiasi Hukum Indonesia (ADHI) Sulawesi Tenggara, Dr. LM Bariun, SH., MH, menyebut bahwa reformasi kini tengah berada di persimpangan antara menjadi gerakan pembaruan sejati atau sekadar ritual administratif yang kehilangan jiwa.
Ia tegaskan bahwa Reformasi 1998 bukan sekadar pergantian rezim, melainkan “upaya kolektif untuk merebut kembali moralitas bangsa.” Dari perubahan konstitusi, sistem pemilu, hingga lahirnya undang-undang otonomi daerah, Reformasi telah menandai babak baru perjalanan demokrasi Indonesia. Dalam hitungan sejarah, capaian itu luar biasa sebuah transformasi dari negara otoriter menuju demokrasi elektoral hanya dalam dua dekade lebih.
Namun, di balik keberhasilan itu, realitas sosial-ekonomi menunjukkan wajah yang tak sepenuhnya cerah. Indeks ketimpangan masih tinggi, dan pemerataan kesejahteraan belum benar-benar terwujud. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi belum cukup menembus lapisan bawah masyarakat. Pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak masih menjadi barang mewah di sebagian wilayah Indonesia Timur dan daerah tertinggal lainnya.
Lebih dari itu, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan pada 2024. The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia dalam kategori flawed democracy dengan skor 6,71. Ini menandakan, menurut Bariun, bahwa “demokrasi kita masih bertarung dengan dirinya sendiri.
“Reformasi adalah perjuangan moral, bukan sekadar pergantian rezim. Ia lahir dari darah dan idealisme, bukan dari prosedur birokrasi,” ujar Bariun dalam refleksinya di Kendari, Sabtu (18/10/2025).
Tonggak Sejarah Reformasi: Antara Idealisme dan Realitas
Menurut Pakar Hukum Tata Negara ini ini menyampaikan Reformasi 1998 menjadi momentum besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari gerakan mahasiswa hingga masyarakat sipil, semua bersatu menumbangkan rezim otoriter yang mengekang kebebasan. Dampaknya signifikan: amandemen UUD 1945, reformasi hukum yang mengedepankan HAM, hingga lahirnya UU Otonomi Daerah.
Namun, menurut Bariun, perjalanan 25 tahun itu belum sepenuhnya memenuhi janji keadilan sosial. Indeks ketimpangan sosial dan ekonomi masih tinggi, sementara data BPS menunjukkan pemerataan kesejahteraan belum tercapai di banyak daerah tertinggal.
“Pendidikan dan kesehatan yang layak belum merata. Kita masih berhadapan dengan kemiskinan struktural di banyak wilayah Indonesia Timur,” katanya.
Lebih ironis lagi, The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia pada kategori flawed democracy (demokrasi cacat) pada 2024 dengan skor 6,71. “Ini menjadi alarm bagi bangsa bahwa demokrasi kita belum dewasa secara substantif,” tegas Bariun.
Paradoks Reformasi: Kekuasaan yang Menyamar dalam Birokrasi
Salah satu isu krusial yang disoroti Bariun adalah reformasi birokrasi yang justru stagnan di level administratif. Menurutnya, perubahan yang seharusnya menyentuh akar sistem justru berhenti pada perbaikan struktur dan penyusunan SOP semata.
“Birokrasi kita terlalu sibuk menyusun indikator kinerja, tapi lupa memperbaiki nurani pelayanan,” ujarnya.
Bariun menyinggung pemikiran filsuf Michel Foucault, bahwa kekuasaan tidak pernah netral ia selalu bersembunyi di balik sistem dan prosedur yang tampak rasional. Dalam konteks Indonesia, kekuasaan kini hadir dalam bentuk yang lebih halus: pengendalian melalui mekanisme administratif.
“Reformasi birokrasi telah berubah menjadi ritual legitimasi kekuasaan. Struktur berubah, tapi hierarki tetap sama. Itu sebabnya kita perlu dekonstruksi, bukan sekadar reformasi,” jelasnya.
Reformasi Tanpa Dekonstruksi: Bahaya Kekuasaan yang Tak Direfleksikan
Direktur Pascasarjana Unsultra ini mengingatkan, reformasi tanpa refleksi justru melahirkan bentuk kekuasaan baru lebih lembut, lebih canggih, tetapi tetap menundukkan. Ia menekankan pentingnya perubahan etika kekuasaan: dari logika pengawasan menuju logika pelayanan, dan dari hierarki menuju partisipasi publik.
“Selama dua puluh lima tahun, kita membangun sistem tanpa membangun kesadaran. Padahal, moralitas adalah fondasi dari setiap sistem yang ingin kita perbaiki,” katanya.
Menurutnya, reformasi birokrasi sejati hanya akan lahir jika aparatur negara berani menempatkan diri sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa kebijakan.
Pemerintahan Prabowo Gibran menjadikan reformasi birokrasi sebagai salah satu fondasi utama pembangunan nasional. Namun publik menanti bukti konkret bahwa jargon tersebut bukan sekadar kelanjutan ritual lama.
“Pemerintah harus membuktikan bahwa reformasi birokrasi kali ini tidak berhenti di ruang rapat atau dokumen administrasi. Ia harus menyentuh etika, keberanian, dan kejujuran dalam melayani publik,” kata Bariun menegaskan.
Reformasi birokrasi yang berorientasi pelayanan, lanjutnya, harus membuka ruang partisipasi, memotong rantai hierarki yang menindas, dan menjadikan warga negara sebagai subjek, bukan objek kebijakan.
Reformasi sebagai Cermin Moral Bangsa
Kritik ini membawa kita pada kesadaran baru, reformasi yang sejati tak bisa berhenti di level prosedural. Ia harus bergerak menuju dekonstruksi birokrasi membongkar cara berpikir lama yang menjadikan kekuasaan sebagai alat kendali, bukan sarana pelayanan.
Perubahan sejati, ujar Bariun, hanya akan terjadi ketika logika pengawasan bergeser menjadi logika pelayanan, dan hierarki berubah menjadi partisipasi. Birokrasi harus membuka diri terhadap kritik, bukan sekadar menata ulang struktur yang sama dengan wajah berbeda.
Kekuasaan yang tak pernah direfleksikan, kata Foucault, akan selalu menemukan cara baru untuk bertahan bahkan melalui sesuatu yang disebut reformasi. Karena itu, tugas generasi hari ini bukan sekadar melanjutkan Reformasi, tetapi membaca ulang teks kekuasaan dengan pandangan yang jernih dan keberanian yang jujur.
Dalam refleksi akhirnya, Bariun menyampaikan pesan yang mendalam: reformasi sejati adalah ketika kekuasaan berhenti menundukkan, dan mulai melayani dengan hati.
“Reformasi tidak akan pernah selesai. Ia bukan monumen sejarah, melainkan proses moral yang harus dirawat setiap hari,” ujarnya.
Reformasi sejatinya bukan sekadar perubahan sistem, melainkan perubahan kesadaran. Sebab sistem hanya akan sebaik nilai-nilai yang menghidupinya. Dalam konteks ini, birokrasi Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah besar menyembuhkan luka lama antara kekuasaan dan pelayanan.
Sejak awal, reformasi birokrasi digadang sebagai tulang punggung pemerintahan modern. Ia diharapkan mampu membentuk aparatur negara yang profesional, transparan, dan berorientasi pada publik. Namun, di lapangan, reformasi sering kali tersandera oleh logika administratif yang kaku dan hierarki yang menumpulkan kreativitas.
Standar kinerja dibuat, tetapi tak selalu menghadirkan empati. Indeks akuntabilitas dinaikkan, tetapi tidak diikuti dengan integritas moral. Reformasi pun berubah menjadi ritual efisiensi tanpa jiwa sekadar menyesuaikan diri dengan tuntutan globalisasi, bukan menegaskan jati diri pelayanan publik yang sejati.
“Kita membangun sistem tanpa membangun kesadaran “Selama kekuasaan tidak direfleksikan, maka ia akan terus menemukan cara baru untuk menundukkan, meski atas nama reformasi.” bahwa dekonstruksi birokrasi adalah agenda mendesak bangsa ini bukan untuk menghancurkan sistem, tetapi untuk membangunnya kembali di atas fondasi kejujuran, kesetaraan, dan kemanusiaan.
“Reformasi tanpa dekonstruksi hanya akan melahirkan kekuasaan baru lebih halus, lebih rapi, tapi tetap menindas rakyat,” tukasnta
Antara Cita dan Realita: Birokrasi yang Masih Mencari Jati Diri
Kini, setelah 25 tahun Reformasi, publik menuntut bukan hanya efisiensi, tetapi juga keberpihakan moral. Birokrasi bukan sekadar mesin administratif, melainkan instrumen keadilan sosial. Ia seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan negara bukan tembok yang menghalangi keduanya.
Namun kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Dalam banyak kasus, pelayanan publik masih berbelit, pungli masih terjadi di daerah, dan keberanian moral aparatur untuk melawan arus kekuasaan kerap tumpul. Reformasi yang diharapkan menjadi “arus pembebasan” justru berisiko menjadi “labirin baru” yang lebih rapi, namun tetap menjerat rakyat kecil.
“Di sinilah perlunya dekonstruksi birokrasi bukan untuk meruntuhkan sistem, tetapi untuk membongkar cara berpikir lama yang menempatkan kekuasaan sebagai pusat segalanya. Dekonstruksi berarti menafsir ulang tujuan birokrasi bukan lagi melayani kekuasaan, tetapi melayani warga negara,”pungkas Bariun.(Med)







Komentar