Potretterkini.id, KENDARI– Pilkada 2024 di Sulawesi Tenggara (Sultra) semakin memanas dengan sengketa yang muncul baik pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara, maupun Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) dan Pemilihan Wali Kota Kendari (Pilwali) di beberapa daerah. Berbagai isu mulai mencuat, termasuk terkait ambang batas gugatan pasangan calon (Paslon) dan dugaan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
La Ode Bariun, Direktur Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), turut memberikan pandangannya terkait perkembangan sengketa Pilkada ini. Menurut La Ode, salah satu isu utama yang sedang diperbincangkan adalah penerapan ambang batas gugatan yang ditetapkan sebesar 2,5 persen dari selisih hasil hitung suara dalam pemungutan suara.
“Ambang batas gugatan sebesar 2,5 persen ini menjadi salah satu tantangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Hal ini bisa mempengaruhi hak dari Paslon yang merasa dirugikan, karena jika selisih suara antara Paslon yang bersengketa hanya sedikit, namun tidak mencapai 2,5 persen, maka gugatan tidak dapat diproses lebih lanjut. Ini menimbulkan pertanyaan apakah prinsip keadilan bisa benar-benar terpenuhi dalam hal ini,” jelas La Ode Bariun.
Ketentuan mengenai ambang batas gugatan tersebut merujuk pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pasangan calon (Paslon) yang merasa dirugikan oleh hasil pemilihan dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi dengan ketentuan bahwa selisih suara antar Paslon tidak lebih dari 2,5 persen dari total suara yang sah dalam pemilihan.
La Ode juga menanggapi soal dugaan pelanggaran yang terjadi dalam proses Pilkada, terutama yang dikategorikan sebagai pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menurutnya, fenomena TSM yang sering ditemukan dalam Pilkada tidak bisa dianggap sepele.
“Pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif ini sangat merugikan proses demokrasi kita. Ini bukan hanya soal integritas hasil Pilkada, tetapi juga soal kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan yang dilakukan,” ungkapnya.
Direktur Pascasarajana Unsultra ini menambahkan bahwa Paslon yang kalah dalam Pilkada sebaiknya lebih legowo, apalagi jika tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung klaim adanya pelanggaran TSM. Ia yakin bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan perkara dengan adil dan profesional.
“Jika tidak ditemukan bukti yang kuat terkait pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif, saya berharap Paslon yang kalah dapat menerima hasilnya dengan legowo. Saya yakin MK akan memutuskan dengan prinsip keadilan yang tinggi dan mempertimbangkan segala bukti yang ada,” tuturnya.
La Ode juga mengingatkan pentingnya lembaga penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, untuk memastikan proses berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan adil. Ia berharap agar setiap laporan pelanggaran bisa segera ditindaklanjuti dan diselesaikan dengan tegas, agar hasil Pilkada dapat diterima oleh seluruh pihak, baik oleh Paslon maupun oleh masyarakat Sulawesi Tenggara. (Afar/Meid)
Komentar