Potretterkini.id- Menyelami senyawa substantif dari model pemilihan kepala daerah (pilkada) sejatinya tidak saja akan menggiring paradigma pada sesi peralihan kekuasaan secara legal. Jauh lebih dalam dari itu, menempatkan pilkada pada lembaran konstitusional akan mengungkap fundasi karakteristik pilkada serta bagaimana seharusnya perangai demokratis masyarakat sipil dalam menyertai hiruk-pikiknya.
Tanpa bermaksud bersebrangan dengan arus tertib hukum secara positivis, pilkada dan pemilu tidak bisa dikatakan “sama” secara utuh. Dalam tafsiran sistematis konstitusional, antara pemilu dan pilkada bersandar pada pasal yang berbeda. Pemilu (pemilihan umum; memilih anggota DPR,DPD dan DPRD) disematkan secara lex specialis pada Bab VIIB pasal 22E ayat 1 hingga ayat 6 sedangkan pilkada tidak dibuatkan bab khusus sekaligus juga tidak dimuat pada ketentuan tentang pemilu. Pesta demokrasi lokal ini (local election) ditempatkan pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat (4).
Dengan demikian, kehendak konstitusi ini seharusnya cukup menjadi dalil perihal sikap untuk tidak menyamakan identik antara pemilu dan pilkada. Meskipun nurani demokratis serta pendekatan implementatif menggugah cara pandang untuk menyandingkan antara pemilu dan pilkada, namun demi menghormati konstitusi maka tegas perlu diakui bahwa pilkada bukan pemilu.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana neraca konstitusionalitas pilkada dalam presepsi hukum kita. Untuk menjawab itu, sejenak arahkanlah paradigma penafsiran pada rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan tersebut mengaskan bahwa pilkada diselenggarakan secara demokratis.
Olehnya penting untuk menelusuri kehendak demokratis yang membayangi pelaksanaan pilkada. Harfiahnya, demokratis berarti berdiri diatas prinsip demokrasi. Berakar pada pengakuan bahwa rakyat yang berdaulat dan memegang kuasa negara. Dalam arti lain, suatu sistem demokratis mengharuskan rakyat terlibat sebagai aktor penting dan utama diantara segala struktur negara.
Mengkonstruksi sistem yang familiar dideskripsi dengan alur “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” sebagai mana Abraham Linclon menjelaskanya. Senada dengan itu, Jhon Dewey mengilutrasikan bahwa demokrasi merupakan sistem yang bermuara pada pelibatan rakyat secara dewasa dan partisipatif. Namun, dalam UUD NRI tahun 1945 demokratis tidak saja bernada daulat rakyat, tidak melulu perihal partisipatif aktif, melainkan juga dilandaskan pada konstitusionlitas.
Konstruksi tersebut terekam pada redaksi pasal 1 ayat (2) yang menekankan harmoni antara daulat rakyat dan konstitusi. Disinilah dimensi filosofis antara pemilu dan pilkada bersua. Dalam proyeksi konstitusionalitas pemilu terungkap bahwa esensi demokrasi diselenggarakan dengan berpijak pada asas LUBER JURDIL.
Langsung, Umum Bebas, Rahasia,Jujur dan Adil ialah etika demokrasi yang ditemui pada bangunan daulat rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945. Sehingga dengan demikian, meskipun berbeda alas konstitusional, asas pemilu (LUBERJURDIL) yang mengejawantah selera konstitusi perihal demokrasi turut pula menjiwai pelaksanaan pilkada yang demokratis.
Atas pertimbangan tersebut, Pilkada juga wajib mengartikulasikan segmentasi LUBERJUDIL dalam pelaksanaanya. Belakangan aroma keseriusan penyelenggara pilkada untuk menjaga terwujudnya asas LUBERJURDIL tersebut semakin tercuat melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum.
Pada pasal 25 ayat (1) huruf e diuraikan bahwa sebelum menyalurkan suaranya, ketua KPPS mengingatkan dan melarang pemilih membawa telepon genggam dan/atau perekam gambar ke bilik suara. Maksud dari konstruksi pasal ini secara singkronisatif ditemukan pada redaksi pasal 28 ayat (2) PKPU tersebut yang tidak membolehkan pemilih mendokumentasikan pilihanya dibilik suara.
Apabila prinsip LUBERJURDIL telah “nyantol” dikesadaran demokratis kita maka kedua aturan tersebut terkonfirmasi tentu tidak lain dan tidak bukan ialah dalam kepentingan mewujudkan prinsip “rahasia”. Pilihan setiap orang wajib dirahasiakan sebagai bentuk pengagungan terhadap hak individunya sebagai pemilik daulat. Mengingat begitu urgenya prinsip “rahasia” dalam pusaran hak pilih rakyat maka penting kiranya untuk mengelaborasi bagaimana sebenarnya memaknai prinsip rahasia dalam pilkada serta seperti apa seharunya para pihak bersikap menegaskan asas tersebut pada pelaksanaan pesta demokrasi lokal kita?
Inti dari Asas Rahasia dalam Prosesi Elektoral
Khalayak sangat mengenali bahwa rahasia mewakili keadaan dimana sesuatu itu tidak boleh diketahui oleh pihak lain selain si empunya. Wikikamus mendeskripsikan bahwa rahasia dikonotasikan sebagai sesuatu yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Mirip dengan uraian sebelumnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan rahasia sebagai upaya yang disengaja untuk tidak memberitahukan kepada siapapun berkaitan dengan informasi tertentu.
Ratna Herawati, Novira Sukma dan Untung Dwi Hananto dalam “Kepastian Hukum Pemilu dalam Serentak 2019 Melalui Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia menjelaskan asas rahasia berputar pada arti bahwa setiap orang yang menggunakan suaranya akan dijamin kerahasiaanya terhadap pilihanya. A. Perkasa melalui skripsinya yang berjudul “Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum di Indonesia Perspektif Siyasah Dusturiyah menjelaskan bahwa asas rahasia disasoisasikan pada upaya sistematis untuk mencegah terjadinya instabilitas sosial dan politik.
Selanjutnya dideskripsikan bahwa bahwa Pemilu yang berkualitas tercapai melalui asas kerahasiaan. Prinsip ini mengharuskan pemilih menjaga pilihannya tetap rahasia, bahkan kepada panitia pemilu dengan tujuan tercipta suasana damai yang menghindari keributan serta potensi konflik akibat perbedaan pilihan. Panitia pemilu juga dilarang untuk memberitakan pilihan pemilih lain, pilihanya sendiri, ataupun menanyakan preferensi politik pemilih. Kesemua itu demi menjaga keutuhan asas kerahasiaan ini.
Olehnya, pasal 2 UU Pemilu dan Pemilihan menjelaskan bahwa asas rahasia sebagai jaminan dalam memberikan suara dimana kerahasiaan pemilih haruslah dijamin alias tidak akan diketahui oleh siapapun dengan cara apapun.
Mengelaborasi kedua ketentuan tersebut asas rahasia tidak lain dapat disimpulkan sebagai bentuk konsistensi pengakuan terhadap hak untuk memilih bagi setiap warga negara dalam helatan demokrasi. Manifestasi dari keadilan dan objektivitas penyaluran hak pilih ditentukan dari seberapa rapih teknis dikonstruksi untuk menjaga kerahasiaan penyaluran hak pilih.
Jantung dari proses demokrasi berdenyut melalui asas rahasia. Sebagai bentuk penghormatan terhadap daulat pilihan yang disalurkan secara bertanggungjawab. Asas rahasia tak ubahnya benteng demokrasi yang melindungi hak pribadi setiap individu untuk menyuarakan pilhan tanpa diteror rasa takut dan tekanan dari siapapun.
Manakalah pemilih merasa aman bahwa pilihan mereka tidak diketahui oleh siapa pun maka pemilih akan terproteksi dan bebas dari turbulensi eksternal (baik individu, kelompok ataupun institusi) yang dapat menganggu purifikasi hak pilih sesuai substansi hak asasi manusia dan hak demokratis. Kerahasiaan ini melindungi masyarakat dari kemungkinan intimidasi dan diskriminasi berdasarkan pilihan politik mereka.
Dengan sistem rahasia, pemilih dapat merasa terlindungi dari penghakiman, yang mendukung partisipasi yang lebih luas dan inklusif dalam pemilu.Pemilihan yang konsisten menjaga penerapan asas rahasia secara simultan juga akan berdampak pada pembangunan kualitas demokrasi yang jujur dan berkeadaban.
Rahasia dalam pemilu juga menjadi elemen yang mempersatukan, meski masyarakat terdiri dari berbagai pandangan, fragmen dan keberpihakan politik. Pemilu yang rahasia menempatkan semua orang di posisi yang sama, tidak ada yang mengetahui pilihan politik satu sama lain. Ini menciptakan rasa kebersamaan dalam perbedaan di mana setiap warga negara dihormati haknya, apa pun pilihannya.
Melalui keindahan unsur rahasia ini, terciptalah ruang bersama yang inklusif bagi seluruh rakyat. Setiap pemilih merasa terdorong untuk berpartisipasi secara jujur tanpa merasa diintervensi. Kerahasiaan memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka tanpa ragu, sehingga mendorong kejujuran dan keikhlasan. Momen ketika seseorang berada di bilik suara adalah pengalaman pribadi yang sacral dimana saat itu pilihan murni dapat diambil dalam keyakinan dan kebulatan tekad demokratis setiap orang.
Membersihkan Taburan Noda diatas Asas Rahasia dalam Pilkada 2024
Gemerlapnya kuasa public terlampau menyilaukan para pendambanya.
Tidak jarang jabatan politik yang seharusnya diraih dengan hikmah daulat rakyat justru terhanyut pada bujuk rayu kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masiv. Segala intrik dikonsumsi dan yang teranyar saat ini ialah politik uang hingga sekelumit taktik untuk mendukung keberhasilan cara curang itu. Pesatnya laju teknologi dan informasi dimanfaatkan untuk memastikan mahar haram politik uang terbayar lunas dibilik suara. Ditengah gempuran arus moderenitas serta kecanggihan teknologi komunikasi nyatanya tidak dibarengi dengan kedewasaan dan kebijakan dalam memanfaatkanya.
Dalam moment politik semacam ini, kecanggihan teknologi komunikasi turut dikonversi pada asa kuasa yang menghalakan cara curang. Sebut saja beberapa varian kecurangan yang dewasa ini sering ditemukan, yakni penggunaan handphone untuk membuktikan “pesanan pilihan” yang telah atau akan dimahari tertunaikan dengan sesuai “reservasi”.
Membawa masuk HP berkamera pada bilik suara untuk merekam dan/atau memfoto pilihan yang selanjutnya dilaporkan kepada pihak tertentu ditemukan sebagai metode yang menunjang money politics meluncur dengan sempurna. Secara substantif, modus ini tentu menabrak prinsip rahasia dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada.
Memang, secara normative ketentuan pelarangan untuk merekam atau memfoto pilihan dibilik suara sudah tertuang pada pasal 28 ayat (2) PKPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum dimana ketentuan ini menempatkan pemilih sebagai subjek hukum (adresaatnorm) yang dilarang.
Bahkan pokok pelarangan perbuatan tersebut juga dimuat dalam pengaturan yang secara substansi memperluas aspek subjek hukumnya sebagaimana dimuat pada pasal 25 ayat (1) huruf e. Ketentuan tersebut tidak lagi hanya bersifat pelarangan kepada pemilih tetapi dipertegas menjadi tugas Ketua KPPS.
Secara sederhana,sebelum pemilih menyalurkan hak suaranya, Ketua KPPS mengingatkan dan melarang jika pemilih membawa HP atau alat perekam lainya. Tentu, original intent ketentuan pasal 25 ayat (1) huruf e berkenaan dengan optimalisasi ketentuan pelarangan pada pasal 28 ayat (2) PKPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum sebagai upaya untuk memastikan dua hal, pertama, penjagaan terhadap asas rahasia dalam pemilu dan pilkada serta kedua, mencegah alur pelanggaran berupa tukar guling kepentingan yang dapat dinilai secara nominal atau praktek politik uang.
Guna menangani hal tersebut, pendekatan sistem diperlukan secara konsisten. Pemilu dan pilkada merupakan sebuah rangkaian sistematis yang saling terintegrasi. Olehkarenanya, untuk mencegah, memitigasi atau bahkan mengevektifkan penyeleggaraan pemilu/ pilkada maka diperlukan tolak ukur sistem yang terarah. Pada proposisi ini, Legal System Theory Lawrance M. Friedman dapat digunakan sebagai pendekatan analisis legal gap termasuk pula upaya mengatasinya dampaknya. Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu struktur (legal structure), substansi (legal substancy), dan Budaya (legal cultur).
Padanan legal structure berasosiasi pada kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum terselenggara melalui implementasi fungsi dari setiap organ maupun sub-organ dalam rangkaian sistem dimaksud. Legal substancy menekankan pada aspek luaran dari sistem hukum, baik berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak guna menciptakan keteraturan yang ajeg atau selaras.
Selanjutnya ialah legal culture/ culture interact yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. Bangunan kultur hukum tegak terhadap kesadaran masyarakat dalam berkaidah dan beraturan melalui hukum.
Dalam menanggapi kecenderungan pelanggaran asas rahasia melalui korespondensi Legal System Theory Lawranca M Friedman, maka segmen pertama yang diformat sebagai instrument analisis ialah legal substantion. Telah berulang kali diulas bahwa substansi pengaturan perihal penjagaan asas rahasia baik dalam pemilu maupun pilkada terkonfirmasi bahkan secara bertingkat.
Mulai dari konstitusi, undang-undang hingga pelbagai ketentuan teknis sepertu Peraturan KPU dan segala produk hukumnya telah se-iya dan se-kata berkomitmen menegakan asas tersebut. Namun dalam konteks pilkada, pengaturan khusus perihal pelarangan sebagaimana dimaksud pada pasal 25 ayat (1) huruf e jo pasal 28 ayat (2) PKPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum tidak secara tegas ditemukan.
Apakah konteks pengaturan larangan merekam atau memfoto pilihan dibilik suara pada pemilu juga diadopsi secara mutatis mutandis dalam pilkada ataukah melalui ketentuan yang sifatnya lex specialist. Hal ini belum termaksud dengan penegasan akibat hukum yang dimunculkan karena pelanggaran tersebut. Penegasankah atau penguatan sebagai bagian integral dari konstruksi norma hukum bahkan perlu dimuat memalui ketentuan teknis yang lebih lex stricta dan konkret.
Demikianlah legal issue yang perlu diperhatikan sebagai bentuk revitalisasi upaya sistematis penjagaan terhadap keterpenuhan asas rahasia tersebut. Selanjutnya pada segmen legal structure. Jika mentah pada ketentuan pasal 25 ayat (1) huruf e PKPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum, maka fokus penekanan subjek hukumnya ialah pada KPPS yang notabene memenuhi unsur sebagai struktur subsistem hukum dalam pemilu atau pemilihan. Koresponensi peran untuk melarang pemilih membawa HP dan alat perekam lainya harus dipertegas melalui ekspansi fungsional secara kolektif.
Bukan saja diberikan kepada KPPS tetapi kepada seluruh petugas PPS dengan format konsolidasi dan koordinasi. Hal ini untuk mengatasi kemungkinan keterbatasan subjek hukum yang simultan turut memastikan terpenuhinya asas rahasia dalam penyaluran hak memilih. Determinasi (pegesan) fungsi keseluruhan perangkat PPS juga perlu distimulasi melalui instrumen sanksi yang tegas, baik sanksi administrasi maupun sanksi lainya jika dianggap perlu dan memungkinkan integritas penyelenggara dapat berjalan diatas track original intent upaya penjagaan prinsip rahasia penyaluran hak pilih.
Last but not least, irisan penguatan penjagaan terhadap keterpenuhan asas rahasia dalam penyaluran hak memilih ialah dengan mengkonstruksi legal culture. Basis paradigma masyarakat sebagai civil sociaty dalam menapaki jalan demokrasi perlu dibangun diatas kesadaran komprehensif.
Pemilik daulat yang nantinya akan menyalurkan hak pilih perlu disadarkan bahwa segala bentuk praktik menyimpang dalam pemilu maupun pilkada tidak lain ialah bentuk kemunduran dan kemerosotan moral demokrasi. Olehnya kesadaran berdialeltika demokratsi perlu disemayamkan dalam konsiderasi penyaluran hak pilih.
Jika hak memilih merupakan irisan hak asasi yang kodrati, maka tidak sepantasnya dimensi tersebut dapat digadaikan dengan sejumla materi, terlebih untuk tendensi hasrat kuasa sesaat. Memang menyusun kerangka demokrasi yang objektif dan konstruktif tidak mudah. Bukan saja keseriusan tetapi pilihan bersikap sebagai pemegang daulat.
Kembali pada analogi Frans Magnis Susesno, seorang filusuf anyar yang menggambarkan relasi antara hak daulat rakyat dan kontestasi suksesi kekuasaan. “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik memipin, tetapi mencegah yang buruk berkuasa”. Jika dalam moment pemilihan sudah terkontaminasi oleh perangai curang, maka bagaimana dengan pemerintahan kedepan? Olehnya, jagalah kualitas pemilu dan pilkada kita untuk senada dengan asas LUBERJURDIL sebagai pegangan konstruktif terhadap demokrasi konstitusional kita, khususnya asas rahasia sebagai bentuk komitmen kemerdekaan menyalurkan hak pilih secara objektif, berdaulat dan bertanggungjawab sesuai paradigma konstitusionalitas. (**)
Oleh Jamal Aslan Jamal Aslan
Komentar