Oleh Jamal Aslan
Potretterkini.id -Demokrasi tak ubahnya pesta yang tak hanya ditandai oleh riuh rendah suara tetapi oleh harmoni yang bebas memilih arah. Di setiap bilik suara, tiap jari yang menandai pilihan menyimpan kekuatan sejati rakyat sebagai sebuah orkestra untuk merayakan kemerdekaan pengejawantahan hak sipil. Electoral sessioin merupakan panggung tempat harapan terurai di mana setiap suara sekecil apa pun menjadi nada penting dalam simfoni bangsa.
Disinilah esensi sebuah demokrasi yang diibaratkan sebagai momentum sakral guna menghormati perbedaan, merangkul keberagaman dan mengukir masa depan bersama dengan tinta demokratik. Setiap pemilihan adalah sebuah perayaan pengakuan kuasa dan Daulat rakyat, di mana civil society bak penulis Sejarah yang merangkai cerita kolektif tentang cita-cita bangsa.
Demokrasi adalah pesta yang terus berlanjut di mana kita tak hanya merayakan kemenangan, tetapi juga semangat untuk terus menjaga dan memperjuangkannya. Guna menjaga ritme dan nada demokrasi melalui pemilu/pemilihan, ius constitutum kita menggariskan batasan sistematis yang menjiwai keseluruhan implementasi sistem pemilihan.
Familiar prinsip tersebut dikenal dalam redaksi LUBER JURDIL. Secara intens, prinsip ini mengalir dalam nadi demokrasi dan menjelma menjadi penopang bagi tegaknya keadilan dalam setiap pesta politik. bukan sekadar akronim melainkan sebagai Kompas yang memastikan bahwa hak dan suara setiap insan dihargai dengan setara.
Melalui LUBER JURDIL, demokrasi menjadi sebuah ruang yang terbuka, jujur dan adil yang memungkinkan setiap warga menanam benih harapan bagi masa depan bangsa. Di sana, suara-suara berbaur dalam simfoni kemerdekaan realitas pemilu yang adil dan setiap langkah pemilihan menjadi sebuah perayaan akan kebesaran hati rakyat yang memilih dengan murni, dengan jujur, dan dengan hak yang tak bisa diganggu gugat. Secara segmentatif, Langsung, berbicara tentang kejujuran tanpa perantara.
Di sini setiap warga berdiri sebagai pemilik sah dari suaranya berdiri diatas keluhuran sanubari tanpa terdistorsi oleh tendensi kepentingan. Disi lain, Umum dimaknai sebagai deskripsi pemberian pemberian kesempatan kepada setiap warga, tanpa kecuali. Tak ada sekat, tak ada dinding pemisah.
Semua diundang ke meja demokrasi di mana kebebasan memilih meliputi seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah demokrasi menemukan napas panjangnya, merangkul setiap orang tanpa pandang bulu. Selanjutnya ialah Bebas menyimpan pesan bahwa Setiap pilihan adalah hak yang tak bisa direnggut, sebuah manifestasi dari kebebasan hakiki.
Bagi setiap warga negara untuk menyalurkan kehendak electoral sebagai substansi hak demokratik. Dihalaman lain, asas Rahasia menjaminkan terproteksinya kemurnian hak suara setelah tersalurkan. dan sebagai pengunci semua itu keadilan yang menjadi pilar kokoh guna menegaskan jaminan bahwa setiap proses akan berjalan dengan adil, tanpa kecenderungan atau ketidak berpihakan tanpa jangkauan diskriminasi.
Sebagai sebuah entitas sistem electoral, pemilu maupun pemilihan dapat diproyeksi sebagai sistem menyemai presepsi demokratis jika memenuhi sejumlah syarat. Isnanto Bidja menabarkan setidaknya 3 aspek diantaranya:, a. Ada atau tidaknya pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Aspek ini mengharuskan bahwa rangkaian sistem pemilu memberikan peluang yang aqual pada seluruh tahapan.
Jaminan ini beririsan dengan cara pandang negara memberikan pengakuan esensi hak warga negara. b. Terdapat persaingan yang adil diantara peserta Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu yang demokratis tak cukup hanya dengan membuka pintu kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk mencalonkan diri. Keadilan tidak berhenti pada titik awal pencalonan, namun harus terus mengalir hingga pada peluang yang setara untuk meraih kemenangan.
Sebab, demokrasi bukan hanya soal siapa yang berhak maju, tetapi juga tentang bagaimana setiap calon, tanpa kecuali, mendapatkan kesempatan yang adil untuk menjadi pemenang. Oleh karena itu, Pemilu yang sejati tidak hanya dilihat dari prosesnya yang langsung atau melalui perwakilan.
Lebih dari itu, ia menuntut kesetaraan peluang dalam setiap langkahnya, agar setiap peserta Pemilu bisa berdiri di garis yang sama dalam mengejar kemenangan. c Kepercayaan masyarakat atas hasil Pemilu. Kepercayaan rakyat terhadap Pemilu, yang menjadi landasan lahirnya pemerintahan yang sah, akan tumbuh dengan sendirinya ketika proses Pemilu berjalan tanpa cacat dan terbebas dari sengketa.
Ketika kesalahan atau pelanggaran muncul, perselisihan atas hasil Pemilu harus diselesaikan dengan cara yang adil dan bijak melalui jalur hukum yang demokratis. Dengan begitu, keabsahan Pemilu tetap terjaga, dan hasilnya diterima dengan penuh legitimasi, tanpa mengorbankan integritas prosesnya. Aspek inilah yang sejatinya menjadi ruang tersendiri dalam memberikan makna terhadap objektivitas pemilihan.
Memastikan demokrasi berjalan secara terbuka dalam setiap tahapan urgensif, termasuk momentum dan prosedur pengawasan dan formula yang demokratis dalam memenuhi tuntuan tersebut tidak lain ialah membuka peluang pengawasan partisipatif.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), menyebutkan bahwa pengawasan partisipatif meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hak dan tanggung jawab mereka dalam pemilihan. Menurutnya, masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam pengawasan dapat mendeteksi dan melaporkan pelanggaran lebih cepat.
Hal ini akan memperkuat legitimasi hasil pemilu serta menumbuhkan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan itu sendiri. Pengawasan partisipatif, bagi Titi, adalah alat penting untuk memastikan bahwa pemilihan berlangsung sesuai dengan prinsip LUBER JURDIL. Senada dengan itu, Samsul Hadi, seorang pengamat politik, menyatakan bahwa pengawasan partisipatif adalah bagian dari proses demokrasi yang sehat.
Menurutnya, pelibatan langsung masyarakat dalam mengawasi jalannya pemilihan kepala daerah memberikan kontrol yang lebih kuat terhadap potensi kecurangan atau penyimpangan yang mungkin terjadi. Ia menekankan bahwa pengawasan ini tidak hanya melibatkan lembaga resmi, tetapi juga organisasi masyarakat, lembaga swadaya, serta individu-individu yang peduli terhadap demokrasi lokal.
Pengawasan partisipatif membantu menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan pemilu. Dalam bingkai pengawasan Pemilu, partisipasi masyarakat bukan sekadar hadir sebagai saksi, melainkan juga sebagai aktor yang turut menggerakkan roda demokrasi. Mereka, baik sebagai individu maupun kelompok, terlibat aktif dalam dinamika politik, menjadi penopang bagi jalannya proses atau bahkan penggugat jika keadilan dipertaruhkan.
Urgensi dari pengawasan partisipatif ini melahirkan kekuatan yang mempertebal kapasitas dan meningkatkan kualitas pengawasan, baik dalam pilkada maupun Pemilu. Melalui partisipasi mereka, wilayah pengawasan melebar, menjangkau setiap sudut, memastikan bahwa demokrasi tidak hanya berjalan, tetapi bersemi dengan penuh integritas.
Olehnya, memaknai demokrasi local semestinya diletakan dalam paradigma yang konstruktif, termasuk dalam menggagas peranan Masyarakat dalam memastikan pemilu/pemulihan berjalan dengan berintegritas. Warga negara tidak lagi hanya berkedudukan sebagai objek yang menyalurkan hak suara. Lebih urgensif dibanding itu, rakyat juga berhak untuk andil dalam melukis indahnya harmoni demokrasi melalui pengawasan yang melibatkan Masyarakat sebagai motor penggerak utama. Olehnya, penting untuk menelisik design pengaturan dan efektifitasnya dalam konstruksi norma hukum pemlihan saat ini.
Pengawasan Partisipatif dalam Konstruksi Perundang-Undangan
Pengawasan yang melibatkan masyarakat adalah kunci untuk menghadirkan Pemilu yang benar-benar bermutu. Membangun Pemilu yang demokratis bukanlah tugas yang sederhana. Tak hanya membutuhkan seperangkat regulasi yang tepat, tetapi juga perilaku etis dari peserta dan penyelenggara Pemilu menjadi elemen tak kalah penting. Hingga saat ini, kedua aspek tersebut masih belum sepenuhnya mendukung terwujudnya demokrasi yang sejati dalam Pemilu.
Belajar dari pelaksanaan pemilu beberapa waktu lalu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menetapkan Presidential Threshold sebesar 20-25%, secara praktis membatasi ruang kontestasi hanya bagi partai politik atau koalisi yang mencapai ambang tersebut.
Jika dilihat dari sudut pandang demokrasi yang ideal, aturan ini menjadi salah satu tantangan dalam menciptakan Pemilu yang benar-benar inklusif. Guna menorobos batasan tersebut, pengawasan partisipatif dianggap sebagai sebuah penanda bahwa pemilu itu dibangun dari semangat rakyat dan dialirkan untuk kepentingan Bersama.
Moch. Nurhasim, seorang peneliti senior LIPI, mengungkapkan bahwa pengawasan partisipatif menjadi vital di daerah-daerah yang rawan konflik atau memiliki potensi kecurangan tinggi. Dengan melibatkan masyarakat setempat, pengawasan dapat lebih efektif karena masyarakatlah yang paling paham dengan dinamika lokal.
Menurutnya, ketika masyarakat merasa ikut bertanggung jawab dalam pengawasan pemilu, mereka cenderung lebih peduli terhadap hasil yang adil dan menghindari manipulasi politik. Dalam kompilasi perundang-undangan pada bidanb pemilu dan pemlihan, pengawasan partisipatif terformulasi dalam beberapa pendekatan sistematis.
Dalam lapangan pemilihan umum, pengawasan partisipatif dianggap sebagai rangkaian simultan yang tersertakan dalam bentuk pencegahan pelanggaran pemilu. Salah satu tugas pencegahan pelanggaran dan sengketa Pemilu sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu maka Bawaslu mewujudkannya dengan membentuk sebuah wadah pusat partisipasi masyarakat.
Wujud pusat partisipasi masyarakat adalah:a.Pengawasan berbasis teknologi informasi (Gowaslu) b. Pengelolaan media c. Forum warga pengawasan Pemilu d. Gerakan pengawas pemilu partisipatif Gerakan pengawas partisipatif e. Pengabdian masyarakat dalam pengawasan Pemilu. F pojok pengawasan dan g. Saka Adyatsa pemilu.
Pada aspek pemilihan kepala daerah, Dasar hukum yang mengatur pengawasan partisipatif tertuang dalam beberapa pasal dan peraturan, yang menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi proses demokrasi.
Berikut adalah beberapa poin penting yang mendasari pengawasan partisipatif. Sebut saja pasal Pasal 131A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang menyebutkan bahwa masyarakat dan pemantau pemilu dapat melaporkan dugaan pelanggaran kepada pengawas pemilu.
Dalam hal ini, masyarakat diberi hak untuk berperan aktif dalam pengawasan. Selain itu, Pasal 131B mengatur tentang pemantau pemilu, yang menyatakan bahwa masyarakat atau lembaga yang memenuhi syarat dapat menjadi pemantau dalam pelaksanaan pemilihan. Pemantau ini berfungsi untuk membantu menjaga proses pemilihan agar tetap berjalan dengan prinsip demokrasi dan keadilan.
Dalam kerangka hukum ini, pengawasan partisipatif diakui sebagai elemen kunci untuk menjaga integritas Pemilu dan Pilkada. Melalui landasan ini, masyarakat tidak hanya diperbolehkan terlibat, tetapi juga diharapkan menjadi pengawal demokrasi yang aktif dan berkontribusi terhadap kelancaran proses politik di tingkat lokal maupun nasional.
Dalam kerangka yang sistematis, melibatkan masyarakat secara langsung dianggap sebagai jaringan pengawasan yang memperkuat integritas pemilihan. Dalam kolaborasi ini, suara rakyat menjadi detak jantung yang memastikan bahwa setiap langkah diambil dengan penuh tanggung jawab, sehingga mencegah potensi penyimpangan dan kecurangan.
Partisipasi aktif masyarakat membangun kepercayaan, merangkul keberagaman suara, dan menjadikan pemilu sebagai panggung di mana keadilan dan kejujuran berpadu secara sistemik. Lebih dari sekadar pengawasan, partisipasi masyarakat juga memberikan ruang bagi pendidikan politik yang berkelanjutan. Setiap keterlibatan mendorong kesadaran akan hak dan tanggung jawab, menciptakan generasi yang peka terhadap dinamika politik dan sosial di sekeliling mereka.
Dalam kerangka ini, pengawasan partisipatif tidak hanya berfungsi untuk mengawasi, tetapi juga untuk memberdayakan masyarakat, menjadikan mereka sebagai agen perubahan yang berperan aktif dalam membentuk masa depan bangsa. Dengan demikian, mekanisme ini menjadi jembatan yang menghubungkan aspirasi rakyat dengan realitas politik, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah refleksi dari suara yang beragam dan hakiki.
Varian model keterlibatan Masyarakat dalam Pengawasan Partisipatif.
Setelah mencermati beberapa aspek urgensif dari model dan skema pengawasan partisipatif, paradigma kita terbentuk dalam formula pelibatan Masyarakat secara aktif dan konsisten. Diperlukan beberapa pendekatan yang konstruktif guna mempolarisasi mekanisme pengawasan partisipatif tersebut dalam neraca keberlangsungan serta keberlanjutan. Pendekatan pertama yang dapat dikreasikan ialah dengan menumbuhkan semangat Pengawasan Kolaboratif.
Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa pengawasan kolaboratif adalah strategi yang sangat efektif dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemilu. Ia berargumen bahwa keterlibatan berbagai pihak mulai dari masyarakat, lembaga pemantau, hingga penyelenggara pemilu menciptakan sinergi yang mampu mengurangi potensi kecurangan.
Dengan cara ini, setiap elemen saling melengkapi, menjadikan proses pengawasan tidak hanya lebih menyeluruh, tetapi juga lebih efektif. Substansi Model ini melibatkan kolaborasi antara masyarakat, lembaga pemantau independen, dan penyelenggara Pemilu. Dalam model ini, masyarakat diberdayakan untuk menjadi pemantau di berbagai tingkatan, baik sebagai individu maupun dalam kelompok.
Pelibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpengalaman dalam pengawasan Pemilu juga sangat penting untuk memberikan pelatihan dan dukungan teknis. Masyarakat dilibatkan dalam merancang rencana pengawasan yang mencakup pemetaan potensi pelanggaran, serta pengumpulan data dan informasi. Dengan cara ini, mereka dapat berkontribusi secara langsung terhadap pengawasan proses, mulai dari tahapan kampanye hingga perhitungan suara. Pendekatan kedua ialah dengan menerapkan Model Teknologi Informasi transformative.
Varian ini lebih condong pada Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengawasan partisipatif dapat memperluas jangkauan pengawasan dan meningkatkan transparansi. Platform digital dapat digunakan untuk melaporkan dugaan pelanggaran secara real-time dan untuk memantau proses pemungutan suara. Masyarakat dapat mengakses aplikasi mobile atau website yang memungkinkan mereka melaporkan peristiwa atau kecurangan yang terjadi di lapangan. Informasi yang terkumpul dapat dianalisis untuk mengidentifikasi pola pelanggaran, sehingga tindakan korektif dapat segera diambil.
Ketiga, Model Jaringan Pemantau Komunitas. Pada varian ini, Pembentukan jaringan pemantau di tingkat komunitas dapat menjadi model efektif dalam pengawasan partisipatif. Jaringan ini dapat terdiri dari individu atau kelompok di tingkat lokal yang memiliki akses langsung ke pemilih dan proses pemilu. Pemantau komunitas dilatih untuk mengawasi kegiatan kampanye, proses pemungutan suara, dan perhitungan suara.
Melalui laporan yang disampaikan kepada lembaga pemantau independen, jaringan ini dapat memberikan umpan balik yang berharga untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggara. Varian Keempat dirumuskan sebagai Model Umpan Balik dan Tindak Lanjut. dalam konteks ini, Mekanisme umpan balik memungkinkan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap pelaksanaan Pilkada setelah proses berlangsung. Model ini penting untuk mengevaluasi efektivitas pengawasan yang telah dilakukan.
Lembaga penyelenggara Pemilu dapat melakukan survei atau forum diskusi untuk mendengar suara masyarakat pasca-pemilu. Hasil dari umpan balik ini kemudian dapat digunakan untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga Pilkada yang akan datang dapat lebih berkualitas dan sesuai dengan prinsip LUBER JURDIL.
Varian Kelima (yang juga merupakan varian pokok) ialah Model Edukasi dan Kesadaran Publik. Pendidikan politik dan kampanye kesadaran publik adalah kunci untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pilkada. Model ini berfokus pada pemberian informasi dan pemahaman yang mendalam tentang hak-hak pemilih dan proses pemilihan. Siti Zuhro, menekankan bahwa pendidikan politik adalah fondasi bagi demokrasi yang sehat.
Menurutnya, model edukasi yang sistematis membantu masyarakat memahami hak dan tanggung jawab mereka dalam proses pemilu. Siti Zuhro berpendapat bahwa ketika pemilih dilengkapi dengan pengetahuan yang memadai, mereka akan lebih cenderung untuk terlibat secara aktif dalam Pilkada, sehingga menciptakan pemilih yang kritis dan berkualitas. Karena focus utamanya ialah membangun kesadaran kolektif, maka Kegiatan ini dapat menggunakan media workshop, dan dialog interaktif dapat diadakan untuk mendidik masyarakat tentang prinsip LUBER JURDIL.
Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat akan lebih aktif dalam melaksanakan pengawasan dan lebih kritis terhadap proses yang berlangsung. Oleh sebab itu, Sebagai penjaga harapan demokrasi, pengawasan partisipatif memegang peranan krusial dalam mewujudkan Pilkada yang berkualitas. Melalui keterlibatan aktif masyarakat, setiap suara menjadi bagian dari simfoni keadilan, meneguhkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Dalam harmoni ini, kita bersama-sama menanamkan benih kepercayaan yang akan tumbuh subur, menghasilkan pemimpin yang benar-benar lahir dari suara rakyat. Dengan demikian, pengawasan partisipatif bukan sekadar sebuah mekanisme, melainkan cahaya yang menerangi jalan menuju masa depan demokrasi yang lebih baik dan berkeadilan. Pengawasan partisipatif bukan hanya pendekatan sistematik, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan aspirasi rakyat dengan realitas pemilihan.
Dengan melibatkan masyarakat dalam setiap fase, kita menciptakan ruang di mana transparansi dan akuntabilitas bersatu, mengantarkan kita pada Pilkada yang berkualitas dan penuh makna kerakyatan. Dalam sinergi ini, setiap suara berkontribusi pada irama demokrasi, memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah refleksi dari kehendak dan harapan rakyat.
Dengan demikian, pengawasan partisipatif menjadi kunci untuk membuka gerbang menuju masa depan pemerintahan yang adil, responsif, dan berintegritas. **
Komentar