JALALUDDIN RUMI, PUASA RAMADHAN TENTANG DUA KESADARAN

Artikel620 Dilihat

Potretterkini.id-Pada salah satu kitabnya yang masyhur, Fihi ma Fihi (Sesuatu di dalam sesuatu) Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang lahir di Samarkand pada tahun 604 H atau 1207 M menuturkan sebuah kisah tentang seorang penguasa di Kota Rum. Pada suatu saat sang penguasa berdialog dengan Jalaluddin Rumi.

Pada zaman dahulu orang kafir menyembah berhala dan bersujud kepadanya. Kini, kita melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol. Kita melayani mereka.

Namun, di luar pelayanan yang kita lakukan kepada mereka itu, dalam hati kita masing-masing, ternyata kita memiliki berhala-berhala lainnya, seperti ketamakan, hasrat nafsu, dendam, dan kedengkian yang sadar atau tidak, semua kita patuhi, Lalu masih pantaskah kita mengaku sebagai Muslim?”

Mendengar perkataan itu, Jalaluddin Rumi menjawab: “Namun ada yang berbeda di sini. Dalam pikiranmu terlintas pandangan bahwa perilaku semacam itu sungguh buruk dan tak bisa diterima. Itu terjadi karena mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung sehingga kau bisa menunjukkan mana yang baik dan mana yang keji.

Air asin akan terasa asin bagi lidah yang pernah meneguk air manis. Sesuatu menjadi jelas setelah melihat kebalikannya. Demikian Allah menanamkan cahaya iman dalam jiwamu, sehingga kau bisa melihat hakikat sebuah perbuatan.

Berdasar dialog itu terungkap, bahwa sang penguasa dengan sangat baik menggambarkan berhala-berhala dalam diri manusia. Sementara Jalaluddin Rumi melihat masuknya cahaya ilahiah ke dalam jiwa sang penguasa, sehingga ia mampu membedakan dua hal yang bertentangan dan mengambil sikap atasnya.

Dua Kesadaran 

Jika dihubungkan dengan puasa Ramadhan yang baru saja kita jalankan, percakapan ini memiliki relevansi yang sangat tinggi. Setidaknya ada pelajaran tentang dua kesadaran yang bisa kita petik darinya.

Pertama, kesadaran sang penguasa akan adanya berhala-berhala dalam diri manusia adalah sebuah kesadaran simbolik akan kerentanan jiwa manusia untuk jatuh ke dalam fatamorgana dunia.

Lebih jauh, kesadaran itu mengajak untuk mengindentifikasi berhala-berhala apakah yang ada dalam kita.

Setiap diri kita pastilah menyimpan berhala-berhala dalam diri, entah itu berhala dalam wujud ketamakan, sulit untuk bersyukur, kecemburuan individual dan sosial, atau perasaan tak pernah puas dalam memenuhi dahaga atas hasrat duniawi.

Namun, apakah tepatnya berhala-berhala yang bersemayam dalam diri kita itu, hanya masing-masing individu yang mengetahuinya, melalui perenungan dan refleksi diri yang mendalam.

Karena cinta kepada hal-hal duniawi adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai perhiasan. Sebagaimana firman-Nya dalam: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”(QS. Ali Imran: 14).

Kesadaran Situasi

Kedua, kesadaran akan situasi. Bahwa manusia seringkali menyadari keadaan yang dialami sesungguhnya lebih baik dari keadaan-keadaan lainnya, manakala manusia telah mengalami satu keadaan yang lebih buruk.

Sebagai misal, bagi sebagian manusia yang tak pernah merasakan kepahitan hidup dalam bentuk kekurangan makanan, akan sangat sulit untuk mencerna apa makna rasa lapar.

Dengan berpuasa, mereka yang tak pernah mengalami rasa lapar itu, akan segera merasakan betapa pahitnya hidup dalam lilitan rasa lapar.

Maka, sebagaimana ibarat yang diajukan Jalaluddin Rumi bahwa air asin akan terasa asin, manakala seseorang pernah mereguk minuman yang manis; kenikmatan hidup yang dirasakan oleh seseorang akan benar-benar muncul dan terasa sebagai kenikmatan hidup setelah ia mengalami “penderitaan” baik dalam arti faktual maupun simulatif.

Singkatnya, dengan menggunakan ukuran dua jenis kesadaran di atas (kesadaran sang penguasa akan adanya berhala-berhala dalam diri manusia, dan kesadaran akan situasi.

Bahwa manusia seringkali menyadari keadaan yang dialami sesungguhnya lebih baik dari keadaan-keadaan lainnya), puasa sesungguhnya mengajak umat Islam untuk melakukan refleksi ke dalam dan sekaligus keluar.

Refleksi ke dalam mengambil bentuk perenungan atas berhala-berhala dalam diri. Pada tahapan berikutnya, jika berhala-berhala itu telah diketahui, harus dibuat upaya pelemahan atau bahkan penghancuran berhala-berhala itu melalui riyadhah atau latihan pengendalian diri selama puasa di bulan Ramadhan; dan mewujudkannya di setiap masa kehidupan di luar Ramadhan. (Episode 21)

Ustadz: Dr. Anidi, M.Si., M.S.I., M.H
Dekan FKIP Unsultra/Ketua DKM Al-Fattah Unsultra

Komentar