Hutan Lambusango, Paru-Paru Dunia yang Terancam Punah oleh Mafia Kayu

Berita1605 Dilihat

Potretterkini.id, BUTON– Hutan Lambusango di Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton, yang selama ini dikenal sebagai salah satu kawasan konservasi penting di Sulawesi Tenggara, kini berada di ambang kehancuran. Kawasan yang dijuluki “paru-paru dunia” itu perlahan terkoyak akibat maraknya aktivitas penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh jaringan pencuri kayu. Di balik dalih mencari penghidupan, tersembunyi praktik bisnis gelap yang sistematis dan terorganisir, melibatkan kepentingan ekonomi dan politik.

Hasil investigasi tim Komunitas Pecinta Alam (KPA) Tarsius Kapontori pada tanggal 29 Oktober 2025 mengungkap temuan mencengangkan. Terdapat enam titik koordinat penebangan liar yang jelas-jelas masuk ke dalam kawasan hutan konservasi Lambusango. Dari keenam titik tersebut, ditemukan banyak bekas tebangan pohon berdiameter besar, sisa pembakaran tunggul kayu, dan jalan tukang pikul yang dijadikan jalur pengangkutan. Investigasi juga memperkirakan ada puluhan titik penebangan lain yang tersebar di berbagai sektor hutan Lambusango yang kini mulai terbuka akibat aktivitas pencurian kayu yang tak terkendali.

Ketua KPA Tarsius Kapontori, Rusdin, menegaskan bahwa aktivitas tersebut tidak lagi bisa dianggap sebagai kegiatan masyarakat kecil yang mencari nafkah, melainkan bagian dari jaringan mafia kayu yang sudah terorganisir. “Kami menemukan kayu-kayu besar ditebang secara sistematis, lalu diangkut melalui jalur tersembunyi menggunakan kendaraan. Kalau benar untuk kebutuhan rumah, tidak mungkin sebanyak ini. Ini sudah menjadi bisnis kayu ilegal yang dikelola dengan rapi,” ungkapnya.

Rusdin menyebut bahwa para pelaku sering beralasan mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga atau membuat perahu, namun kenyataannya kayu hasil tebang dijual ke luar daerah dengan harga tinggi. “Alasan itu hanya topeng. Faktanya, mereka menebang demi keuntungan. Bahkan ada indikasi keterlibatan pihak yang memiliki kewenangan dan pengaruh di lapangan,” ujarnya.

Ia juga mengungkap adanya dugaan konflik kepentingan yang menghambat penegakan hukum. “Kami menduga ada pihak yang sengaja menutup mata karena mendapat keuntungan dari aktivitas ini. Setiap laporan masyarakat seperti hilang tanpa tindak lanjut,” tegasnya.

Akademisi dan pemerhati lingkungan dari Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), Ahmad Muhardin Hadmar, mengecam keras praktik penebangan liar yang terjadi di kawasan konservasi Lambusango. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan moral lingkungan. “Hutan Lambusango bukan hanya milik Buton, tetapi milik dunia. Ini kawasan konservasi dengan keanekaragaman hayati tinggi. Menebangnya berarti menghancurkan paru-paru kehidupan,” tegasnya.

Ahmad menambahkan bahwa tindakan penebangan liar di kawasan konservasi merupakan pelanggaran berat terhadap hukum Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) huruf e menegaskan larangan menebang pohon dalam kawasan hutan tanpa izin, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar (Pasal 78 ayat 5). Selain itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) memberikan ancaman pidana 1–15 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku. Ditambah lagi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan larangan perusakan lingkungan dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

Ahmad menegaskan bahwa hukum juga harus menjerat pihak yang membiarkan, melindungi, atau mengambil keuntungan dari praktik ilegal tersebut. “Pasal 55 KUHP tegas: siapa pun yang membantu atau membiarkan kejahatan terjadi dapat dihukum sama dengan pelaku utama. Jika ada pejabat, aparat, atau tokoh lokal yang tahu tapi diam, mereka sama bersalah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan bahwa kerusakan hutan Lambusango bukan hanya ancaman bagi lingkungan lokal, tetapi juga berdampak global. “Hutan ini menyimpan jutaan ton karbon dan menjadi habitat bagi satwa endemik Sulawesi Tenggara. Jika terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya banjir dan longsor di Kapontori, tapi juga perubahan iklim yang memperparah krisis ekologis di tingkat dunia,” tegasnya.

Rusdin menambahkan bahwa KPA Tarsius Kapontori akan terus mengawal kasus ini dan menyerahkan bukti temuan koordinat penebangan liar kepada aparat penegak hukum. “Kami sudah memiliki data titik penebangan dan jalur distribusi kayu. Sekarang tinggal keseriusan aparat untuk bertindak. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ujarnya.

Kasus illegal logging di Hutan Lambusango menjadi potret kelam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Alasan ekonomi telah dijadikan tameng untuk menutupi keserakahan dan lemahnya pengawasan. Jika negara terus diam, maka bukan hanya pohon yang hilang, tetapi juga masa depan manusia yang menggantungkan hidupnya pada paru-paru dunia ini. (Mad)

Komentar